Rabu, 18 Juli 2012



Menjadi Pendidik.


Profesi pendidik khususnya guru sekolah selama beberapa tahun terakhir ini mencuri perhatian orang-orang di sekitar saya; keluarga, teman-teman bahkan hampir semua orang yang baru kenal dan kebetulan terlibat pembicaraan dengan saya tentang hal itu.


Satu benang merah yang merupakan inti pembicaraan mereka, tidak lain tidak bukan adalah soal materi. Ya, gaji guru sekarang tinggi, layaklah untuk dilirik sebagai profesi yang ‘menjanjikan’, menurut mereka, belum lagi iming-iming program sertifikasi yang berarti gaji yang bersangkutan bisa menjadi 2 x lipat besarnya, apabila memenuhi syarat-syarat akademik dan administratif tertentu. Oh ya, masih ada beberapa hal lagi, kata mereka “profesi ini cocok untuk perempuan, jam kerja yang tak terlalu panjang membuat kita lebih punya banyak waktu untuk mengurus rumah-tangga, dan kalau kita pintar membagi waktu, kita bisa berpeluang lebih untuk berbisnis kecil-kecilan. Kalau udah punya anak, masa liburannya sama, jadi bisa lebih mendampingi anak-anak kita, daripada bekerja di instansi lain atau karyawan swasta yang jam kerjanya minimal 8 jam”, dan juga profesi guru apalagi pegawai negeri sipil (PNS) memiliki keuntungan tambahan yang tak kalah hebat, yaitu mendapatkan jaminan pensiunan, kelak. Profesi guru juga memiliki keuntungan tersendiri di tengah masyarakat, paling tidak dipandang sebagai salah satu orang terpelajar, hehehe. Banyak sekali keuntungannya, bukan?! Secara materi, secara waktu dan secara sosial, profesi ini memang begitu menggiurkan, bagi sebagian besar orang.


Saya sendiri adalah perempuan, anak seorang pensiunan guru Sekolah Menengah Umum Negeri, ya beliau adalah Ayah saya. Rasanya tidak terlalu heran, bila orangtua kita menghendaki anaknya memiliki profesi yang sama seperti mereka dulu, dengan catatan; profesi itu mereka anggap bagus. Disini berarti ayah saya pastilah beranggapan bahwa profesi guru dan pegawai negeri sipil itu bagus.


Sekarang, bagaimana menurut saya sendiri? Dari tadi kok saya cuma ngomongin orang lain terus ya? Bukannya nggak punya pendapat pribadi, ini baru saya mau ngomongin pendapat saya. Menurut saya, materi yang bisa diraih dengan menjalani profesi guru (PNS) adalah relatif bagi masing-masing orang, artinya berapapun penghasilan dari profesi itu beserta embel-embel gaji tambahan dari program sertifikasi bisa saja menurut sebagian orang tidak begitu menarik, mengingat beberapa konsekuensi yang ‘berat’ dari profesi tersebut. Apa itu konsekuensi yang saya bilang ‘berat’ di atas? Ya, orang-orang lupa membicarakan kewajiban dari profesi ini, cenderung keasyikan mengulik segala keuntungan dan hak yang bisa didapat semata. Kewajiban yang juga saya sebut sebagai konsekuensi ‘berat’ dari profesi ini antara lain adalah memberikan pendidikan yang benar, baik, bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan moral, sesuai dengan umur-kondisi zaman-kondisi siswa-kondisi lingkungan, dan yang juga penting adalah membuat anak didik benar-benar mengerti ilmu yang kita sampaikan dan ajarkan, sehingga mampu mengaplikasikannya dalam evaluasi; baik evaluasi akademik maupun evaluasi sosial, yaitu kehidupan yang sebenarnya. Satu hal lagi yang menurut saya sering terlupakan adalah; bahwa ilmu tidak berhenti berkembang, ia senantiasa mengalami perubahan mengikuti tuntutan kemajuan zaman, nah sebagai pendidik, seorang guru/ pendidik hendaknya tidak terpaku pada buku teks dan panduan kurikulum semata melainkan harus pintar-pintar mendapatkan dan mengolah pengetahuan, pengalaman terkait dan perkembangan lingkungan, untuk kemudian menyampaikannya kepada peserta didiknya dengan baik dan tepat. Apakah saya terlalu berlebihan? Apakah saya terlalu membesar-besarkan? Ataukah saya terlalu takut tidak akan bisa memenuhi segala kewajiban itu bila saya menjadi guru? Ataukah saya sebenarnya tahu bahwa saya tidak mampu memenuhi ‘paling tidak’ secara sempurna kewajiban-kewajiban tersebut di atas, sehingga saya merasa tidak percaya diri yang membuat saya ‘defense’, membela diri dengan cara memandang sebelah mata pada profesi guru-pegawai negeri sipil? Lho, kok saya jadi curhat ya?! Waduh, ketahuanlah sudah….. Ya, saya ngaku deh, saya adalah sarjana pendidikan bahasa daerah (Jawa) sejak Desember 2012, dan saya belum mengajar sampai sekarang; tidak tahu kenapa saya selalu berat hati memasukkan aplikasi lamaran ke sekolah-sekolah. Mungkin saya memang merasa belum layak mengajar karena merasa masih kurang ‘bekal’. Atau mungkin saya terlalu serius menganggap tanggungjawab sebagai guru/ pendidik ini, tapi bukankah hal ini memang seserius itu?! Bagaimana menurut Anda? Bukankah guru sekolah adalah salah satu penentu inti dari kemajuan ataupun kemunduran suatu generasi, bahkan efek berantainya bisa berpengaruh dari masa yang satu ke masa berikutnya dan mungkin ke masa berikutnya lagi, begitu seterusnya. Akan merupakan hal yang membanggakan apabila efek berantai ini baik dan berguna, namun apabila yang terjadi sebaliknya maka akan sangat mengecewakan dan bisa jadi mempermalukan.


Jujur saja, menurut saya kualitas pendidikan di Negara kita ini di beberapa bidang sangat jauh dari kemajuan, yang paling menyedihkan adalah secara kurikulum, kemudian sistem belajar-mengajar, fasilitas pendidikan dan iklim dunia didik-mendidik itu sendiri. Di bidang kurikulum; entah sejak tahun berapa materi yang ada di buku-buku teks panduan sekolah kita diajarkan hanya mengalami perubahan sedikit sekali; inovasi materi-ajar kesannya cuma basa-basi dan tidak serius. Seharusnya setiap kurun waktu tertentu, bahkan setiap ada terobosan baru atau pengetahuan baru dalam bidang terkait, harus di perbaharukan paling tidak dalam kurikulum selanjutnya. Itu sebabnya saya sendiri sebagai sarjana pendidikan, bahkan merasa belum cukup mendapatkan bekal untuk mengajar anak sekolah, karena menurut saya materi dan sistem pendidikan yang saya dapatkan: berhenti menyesuaikan diri dengan perkembangan pendidikan dan juga zaman di beberapa generasi di atas saya. Di dalam sistem belajar-mengajar; saya banyak menemui ketertinggalan metode belajar-mengajar yang enak dan efektif, kebanyakan dikarenakan oleh kurangnya etos mendidik dan faktor pendukung perkembangan sistem pendidikan itu sendiri. Fasilitas pendidikan juga merupakan masalah tersendiri, seperti kurangnya referensi buku-buku bagus dan kurangnya perangkat pendukung. Misalnya, pada bidang studi kebahasaan khususnya Jawa, buku-buku yang mendukung tidaklah banyak dan bisa dibilang itu-itu saja, hanya mengalami penulisan ulang dengan ‘penyesuaian’ yang biasa-biasa saja. Semakin majunya perkembangan zaman bahkan tidak membuat ‘penerjemahan-pengolahan-penyesuaian’ literatur-literatur dan pokok-pokok ilmu Jawa menjadi lebih bersemangat, akan tetapi malah cenderung berhenti. Balai-balai bahasa sebagai salah satu elemen kontrol ‘kemajuan’ ilmu ini belum mampu menjadi lembaga tumpuan tempat insan-insan bahasa memperkaya ilmunya. Iklim dunia didik-mendidik di negara kita juga bisa dibilang kurang sehat, diantaranya; kurangnya koordinasi, kurangnya sikap terbuka menerima perkembangan, juga adanya ‘hukum tidak tertulis’ akan adanya ‘jarak’ antara pendidik dan siswa didik, yang mau tidak mau menghambat lancarnya perkembangan ilmu itu sendiri.


Banyaknya kekurangan dan kelemahan dari sistem pendidikan kita merupakan masalah yang tidak sederhana karena melibatkan keterkaitan antara masalah yang satu dengan masalah yang lainnya, tetapi bukan berarti bahwa itu merupakan harga mati bagi keterpurukan pendidikan di Indonesia. Melihat, mendengar, merasakan dan mengetahui semua kekurangan ini hendaknya menjadi bekal awal untuk memulai pengambilan langkah-langkah penyelesaian. Satu langkah awal beserta langkah-langkah berikutnya tak diragukan lagi, memerlukan kerjasama dan koordinasi serta visi yang baik antara pelaku pendidikan dan instansi terkait, tidak lupa diperlukan dukungan dari pemerintah melalui lembaga-lembaganya. Dengan optimisme dan kerjasama yang terkoordinir serta semangat juang yang sama, saya yakin perkembangan pendidikan di Indonesia tidaklah sesulit yang dibayangkan, toh hasilnya akan berimbas pada kebaikan kita bersama. Jika usaha yang kita lakukan sebagai insan-insan pendidik sudah memenuhi kriteria kewajiban ‘berat’ yang saya sebutkan di awal tulisan ini, maka berapa dan apapun hasil dari profesi ini baru boleh dibilang layak, namun apabila belum; menurut saya penghasilan guru (PNS) beserta embel-embel penghasilan dari program sertifikasi itu bisa dibilang agak berlebihan.


(Mohon saran, kritikan ataupun tambahan dari pembaca sekalian bila berkenan. Sekian, terimakasih.)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar